Manhaj Unek :
Syari’at
Islam telah menetapkan hukum-hukum yang menjamin hak-hak wanita dalam
rumah tangga. Hukum-hukum tersebut bersifat mengikat, dan merupakan
rambu-rambu yang haram dilanggar. Penetapan itu bertujuan untuk
memelihara hak-hak istri, menepis tindak aniaya yang mungkin menimpanya,
atau kemungkinan adanya kurang perhatian dalam pelaksanaannya dari
orang-orang yang berkaitan dengan wanita, baik suami, walinya maupun
yang lainnya. Adapun pada pembahasan ini, secara khusus difokuskan pada
hubungan antara istri dengan suaminya saja.
Sangat banyak hak-hak yang dimiliki
seorang wanita sebagai istri. Hak-hak ini menjadi kewajiban atas
suaminya. Sebagian dari hak-hak tersebut telah disinggung Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut:
وَلَهُنَّ عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Hak wanita-wanita atas kalian (para
suami) ialah memberi nafkah, menyediakan sandang dengan cara-cara yang
baik”. [HR Muslim dan Abu Dâwud].
Demikian itulah keistimewaan yang sangat
penting bagi wanita muslimah yang berstatus sebagai istri. Yakni
kepastian adanya jaminan pemeliharaan yang pasti terhadap hak-haknya
dalam rumah tangga, dan sama sekali tidak ada padanannya dengan
undang-undang produk manusia.
Dalam Islam, terdapat beberapa aspek
yang mendukung pelaksanaan tanggung jawab suami atas pasangan hidupnya.
Beberapa aspek tersebut merupakan kewajiban yang ditetapkan oleh Islam
(hak-hak istrinya) dan dijelaskan dalam nash-nash yang sharîh (tegas dan
jelas, tidak mengandung multi penafsiran).
Dari sisi aqidah, Allah Ta’ala Maha
Mengetahui isi hati manusia dalam kesendiriannya maupun saat bersama
dengan orang lain. Dia akan membalasnya dengan baik jika memenuhinya,
sebagaimana akan menghukumnya atas keengganannya dalam menjalankan
kewajiban itu. Selain itu, hak-hak sesama tersebut bagaikan hutang yang
mesti dilunasi. Seorang yang gugur di medan perang (mati syahid) akan
menghadapi persoalan karena hutang, apalagi selainnya.
Adapun hukum-hukum produk manusia yang
membicarakan hak-hak istri, tidak mempunyai kekuatan pendorong
sebagaimana tertera di atas. Karenanya, akan dapat disaksikan, lelaki
mudah berkelit dari kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan bagi
istrinya sendiri. Gejala ini muncul tatkala terjadi pertikaian dan
perbedaan pendapat mengenai pemenuhan kewajiban-kewajiban tersebut,
karena tidak ada rasa takut kepada Allah Ta’ala dan tipisnya keimanan
terhadap hari Akhir.
Berikut ini, beberapa kutipan ayat dan
hadits yang memuat keterangan tentang kewajiban suami kepada istrinya,
ancaman bagi pihak yang tidak memperhatikannya, saat mereka berdua
mengarungi biduk rumah tangga.
Pertama.
Di antara dalil tentang kewajiban menyelesaikan hak-hak orang lain secara umum, dan hak-hak istri secara khusus.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya….” [an-Nisâ`/4:58].
Kebanyakan ayat-ayat yang berbicara
tentang hak-hak istri berbentuk kalimat perintah. Ini menunjukkan betapa
kuatnya penekanan untuk masalah ini.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan….” [an-Nisâ`/4:4]
“…Dan bergaullah dengan mereka secara patut….” [an-Nisâ`/4:19].
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu …. ” [ath- Thalâq/65:6]
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya…” [ath-Thalâq/65:7].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: “Bertakwalah kalian kepada Allah tentang kaum wanita.
Sesungguhnya, kalian mengambil mereka dengan amanat dari Allah. Dan
kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimatullah.”[HR Muslim].
Dari Abu Hurairah, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berpesanlah untuk wanita dengan
baik”. [HR al- Bukhâri dan Muslim]
Kedua.
Di antara dalil larangan menelantarkan hak-hak istri dan melakukan tindakan aniaya kepadanya.
Beberapa ayat menerangkan mengenai larangan menzhalimi istri dan mengabaikan hak-haknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“…dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya…”[an-Nisâ`/4:19]
“Dan jika kamu ingin mengganti isterimu
dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang
di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil
kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya
kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa
yang nyata.” [an-Nisâ`/4:20].
“…maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah
terdapat kerelaaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf…”[al
Baqarah/2: 232]
Ketiga.
Nash-nash yang menerangkan hukuman dan siksa bagi orang yang melanggar
ketentuan-ketentuan Allah dalam masalah ini dengan cara menindas wanita,
tidak memenuhi atau mengurangi hak-hak wanita.
“…Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah.
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran
yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim.”
[al-Baqarah/2:229].
“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu,
lalu mereka mendekati akhir idahnya, maka rujukilah mereka dengan cara
yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula).
Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka
sungguh ia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu
jadikan hukum-hukum Allah permainan….” [al-Baqarah/2:231]
Nash-nash di atas memuat takhwîf (ancaman menakutkan) dan pesan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari Akhir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“…Itulah yang dinasihatkan kepada
orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian.
Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui” [al-Baqarah/2:232].
Sementara itu, ancaman juga muncul dari
lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia atas suami
yang berbuat tidak adil dan meremehkan hak seorang istri. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Barang siapa mempunyai dua istri, dan
lebih condong kepada salah satu istrinya, ia akan datang pada hari
Kiamat dengan menyeret salah satu dagunya atau datang dengan berjalan
miring.” [HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa'i. Lihat Shahih at-Targhib
(2/199)]
Demikian sedikit paparan beberapa dalil
yang menegaskan tentang pemeliharaan hak-hak istri dalam rumah tangga.
Keretakan rumah tangga hanya muncul ketika ada salah satu pihak (atau
kedua belah pihak, suami istri) tidak menjalankan kewajiban-kewajiban
yang seharusnya ia emban dan lebih condong hanya untuk menuntut
hak-haknya semata.
Wallahu a’lam.